Kisah ini ditulis oleh Tasaro GK, penulis novel bestseller “Galaksi
Kinanthi”, ketua FLP Jawa Barat saat ini. Semoga kita bisa mengambil kebaikan dari cerita ini. Terima kasih kepada Sdr Lubis yang telah berbagi kisah ini kepada saya.
Di mana lagi aku temui perempuan semacammu?
Tilawahmu tidaklah terlalu merdu, keimananmu pun seolah bersandar
kepadaku.
Tapi, di mana lagi aku temui perempuan seikhlasmu?
Wajahmu tak cantik melulu, masakanmu pun tidak lezat selalu.
Tapi, katakan kepadaku, di mana lagi aku jumpai perempuan seperkasamu?
Kau bahkan tidak biasa berbicara mewakili dirimu sendiri, dan acapkali
menyampaikan isi hatimu dalam bahasa yang tak berkata-kata.
Demi Tuhan, tapi aku benar-benar tidak tahu, ke mana lagi aku cari
perempuan seinspiratif dirimu?
Ingatkah lima tahun lalu aku hanya memberimu selingkar cincin 3 gram
yang engkau pilih sendirian? Tidak ada yang spektakuler pada awal
penyatuan kita dulu. Hanya itu. Karena aku memang tidak punya apa-apa.
Ah, bagaimana bisa aku menemukan perempuan lain sepertimu?
Aku tidak akan melupakan amplop-amplop lusuhmu, menyimpan lembaran
ribuan yang kausiapkan untuk belanja satu bulan. Dua ribu per hari.
Sudah kauhitung dengan cermat. Berapa rupiah untuk minyak tanah, tempe,
cabe, dan sawi. Ingatkah, Sayang? Dulu kita begitu akrab dengan racikan
menu itu. Setiap hari. Sekarang aku mulai merasa, itulah masa paling
indah sepanjang pernikahan kita.
Lepas maghrib aku pulang, berkeringat sebadan, dan kaumenyambutku dengan
tenang. Segelas air putih, makan malam: tempe, sambal, dan lalap sawi.
Kita bahagia. Sangat bahagia…..
Aku bercerita, seharian ada apa di tempat kerja. Kau memijiti punggungku
dengan jemarimu yang lemah tapi digdaya. Kau lalu bercerita tentang
tingkah anak-anak tetangga… Kala itu kita begitu menginginkan
hadirnya buah cinta yang namanya pun telah kusiapkan sejak
bertahun-tahun sebelumnya.
Kita tidak pernah berhenti berharap, kan, Honey?
Dua kali engkau menahan tangismu di ruang dokter saat kandunganmu mesti
digugurkan. Aku menyiapkan dadaku untuk kepalamu, lalu membisikkan
kata-kata sebisaku, "tidak apa-apa. Nanti kita coba lagi. Tidak
apa-apa."
Di atas angkot, sepulang dari dokter, kita sama-sama menangis, tanpa
isak, dan menatap arah yang berlawanan. Tapi, masih saja kukatakan
kepadamu, "Tidak apa-apa, Sayang. Tidak apa-apa. Kita masih
muda." Engkau tahu betapa lukanya aku. Namun, aku sangat tahu,
lukamu berkali lipat lebih menganga dibanding yang kupunya. Engkau
selalu bisa segera tersenyum setelah merasakan sakit yang mengaduk
perutmu, saat calon bayi kita dikeluarkan. Kaumemintaku menguburkannya
di depan rumah kita yang sepetak. "Yang dalam, Kang. Biar nggak
digali anjing."
Jadi, ke mana aku bisa mencari perempuan sekuat dirimu?
Kaupasti tak pernah tahu, ketika suatu petang, sewaktu aku masih di
tempat kerja, hampir merembes air mataku ketika kauberitahu. "Kang,
Mimi ke Ujung Berung, jual cincin." Cincin yang mana lagi? Engkau
sedang membicarakan cincin kawinmu, Sayang. Yang 3 gram itu. Aku
membayangkan bagaimana kau beradu tawar menawar dengan pembeli emas
pinggir jalan. Bukankah seharusnya aku masih mampu memberimu uang untuk
makan kita beberapa hari ke depan? Tidak harus engkau yang ke luar
rumah, melawan gemetar badanmu, bertemu dengan orang-orang asing.
Terutama … untuk menjual cincinmu? Cincin yang seharusnya menjadi
monumen cinta kita. Tapi kausanggup melakukannya. Dan, ketika kupulang,
dengan keringat sebadan, engkau menyambutku dengan tenang. Malam itu,
tidak cuma tempe, cabe, dan lalap sawi yang kita makan. Kaupulang
membawa uang.
Duh, Gusti, jadi bagaimana aku sanggup berpikir untuk mencari perempuan
lain seperti dirinya?
Ketika kondisi kita membaik, bukankah engkau tidak pernah meminta
macam-macam, Cinta? Engkau tetap sesederhana dulu. Kaubelanja dengan
penuh perhitungan. Kauminta perhatianku sedikit saja. Kau kerjakan semua
yang seharusnya dikerjakan beberapa orang. Kaucintai aku sampai ke
lapisan tulang. Sampai membran tertipis pada hatimu.
Ingatkah, Sayang? Aku pernah menghadiahimu baju, yang setelah itu kautak
mau lagi membeli pakaian selama bertahun-tahun kemudian. Baju itu
seharga kambing, katamu. Kautak mau buang-buang uang. Bukankah telah
kubebaskan kau mengelola uang kita? Kautetap seperti dulu. Membuat
prioritas-prioritas yang kadang membuatku kesal. Kau lebih suka mengisi
celengan ayam jagomu daripada membeli sedikit kebutuhanmu sendiri.
Dunia, kupikir aku tak akan pernah menemui lagi perempuan seperti dia.
Sepekan lalu, Sayang, sementara di rahimmu anak kita telah sempurna,
kaumasih memikirkan aku. Menanyai bagaimana puasaku, bukaku, sahurku?
Siapa yang mencuci baju-bajuku, menyetrika pakaianku. Bukankah sudah
kupersilakan engkau menikmati kehamilanmu dan menyiapkan diri untuk
perjuanganmu melahirkan anak kita?
"Kang, maaf, ya, dah bikin khawatir, gak boleh libur juga gak papa.
Tadi tiba-tiba gak enak perasaan. Tau nih, mungkin krn bentar lagi."
Bunyi smsmu saat kudalam perjalanan menuju Jakarta. Panggilan tugas.
Dan, engkau sangat tahu, bagiku pekerjaan bukan neraka, tetapi komitmen.
Seberat apa pun, sepepat apa pun, pekerjaan adalah sebuah proses
menyelesaikan apa yang pernah aku mulai. Tidak boleh mengeluh, tidak
boleh menjadikannya kambing hitam. Membaca lagi SMSmu membuatku semakin
tebal bertanya, ke mana lagi kucari seorang pecinta semacammu.
Kaumencintaiku dengan memberiku sayap. Sayap yang mampu membawaku
terbang bebas, namun selalu memberiku alamat pulang kepadamu. Selalu.
Lalu SMS mu itu kemudian menjadi firasat. Sebab, segera menyusul
teleponmu, pecah ketubanmu. Aku harus segera menemuimu. Secepat-cepatnya
meninggalkan Bandung menuju Cirebon untuk mendampingimu. "Terus kamu
kenapa masih di sini? Pulang saja," kata atasanku ketika itu. Engkau
tahu, Sayang, aku masih berada di dalam meeting ketika teleponmu
mengabarkan semakin mendekatnya detik-detik lahirnya "tentara
kecil" kita. Ketika itu aku masih berpikir, boleh kuselesaikan
meeting itu dulu, agar tidak ada beban yang belum terselesaikan. Tapi,
tidak. Atasanku bilang, tidak. "Pulang saja," katanya. Baru
kubetul-betul sadar, memang aku segera harus pulang. Menemuimu.
Menemanimu. Lalu, kusalami mereka yang ada di ruang rapat itu satu-satu.
Tidak ada yang tidak memberikan dorongan, kekuatan, dukungan.
Lima jam kemudian aku ada di sisihmu. Seranjang sempit rumah sakit
dengan infuse di pergelangan tangan kirimu. Kaumulai merasakan mulas,
semakin lama semakin menggila. Semalaman engkau tidak tidur. Begitu juga
aku. Berpikir untuk memejamkan mata pun tak bisa. Aku tatap baik-baik
ekspresi sakitmu, detik per detik. Semalaman, hingga lepas subuh, ketika
engkau bilang tak tahan lagi. Lalu, aku berlari ke ruang perawat.
"Istri saya akan melahirkan," kataku yakin.
Bergerak cepat waktu kemudian. Engkau dibawa ke ruang persalinan, dan
aku menolak untuk meninggalkanmu. "Dulu ada suami yang ngotot
menemani istrinya melahirkan, lihat darah, tahu-tahu jatuh pingsan,"
kata dokter yang membantu persalinanmu. Aku tersenyum, yang pasti
laki-laki itu bukan aku. Sebab aku merasa berada di luar ruang
persalinan itu akan jauh lebih menyiksa. Aku ingin tetap di sisihmu.
Mengalirkan energi lewat genggaman tanganku, juga tatapan mataku.
Terjadilah. Satu jam. Engkau mengerahkan semua tenaga yang engkau tabung
selama bertahun-tahun. Keringatmu seperti guyuran air. Membuat mengilap
seluruh kulitmu. Terutama wajahmu. Menjerit kadangkala. Tanganmu
mencengkeram genggamanku dengan kekuatan yang belum pernah kurasakan
sebelumnya. Kekuatan yang lahir oleh kesakitan. Engkau sangat kesakitan,
sementara "tentara kecil" kita tak pula mau beranjak.
"Banyak kasus bayi sungsang masih bisa lahir normal, kaki duluan.
Tapi anak ini kakinya melintang," kata dokter. Aku berusaha tenang.
Sebab kegaduhan hatiku tidak bisa membantu apa-apa. Kusaksikan lagi
wajah berpeluhmu, Sayang. Kurekam baik-baik, seperti fungsi kamera
terbaik di dunia. Kusimpan lalu di benakku yang paling tersembunyi.
Sejak itu kuniatkan, rekaman itu akan kuputar jika suatu ketika
kuberniat mencurangimu, menyakitimu, melukaimu, mengecewakanmu. Aku akan
mengingat wajah itu. Wajah yang hampir kehilangan jiwa hanya karena
ingin membuatku bahagia.
"Sudah tidak kuat, Kang. Nggak ada tenaga," bisikmu persis di
telingaku. Karena sengaja kulekatkan telingaku ke bibirmu. Aku tahu, ini
urusan nyawa. Lalu kumerekam bisikanmu itu. Aku berjanji pada hati,
rekaman suaramu itu akan kuputar setiap lahir niatku untuk
meminggirkanmu, mengecilkan cintamu, menafikkan betapa engkau permata
bagi hidupku.
Aku mengangguk kepada dokter ketika ia meminta kesanggupanku agar engkau
dioperasi. Tidak ada jalan lain. Aku membisikimu lagi, persis di
telingamu, "Mimi kuat ya. Siap, ya. Ingat, ini yang kita tunggu
selama 5 tahun. Hayu semangat!"
Engkau mengangguk dengan binar mata yang hampir tak bercahaya. Aku tahu,
ini urusan nyawa. Tapi mana boleh aku memukuli dinding, menangis
sekencang angin, lalu mendongak ke Tuhan, "Kenapa saya, Tuhan!
Kenapa kami?" Sebab, Tuhan akan menjawab, "Kenapa bukan kamu?
Kenapa bukan kalian?"
Aku mencoba tersenyum lagi. Mengangguk lagi kepadamu. "Semua akan
baik-baik saja." Maka menunggumu di depan ruang operasi adalah saat
di mana doa menjadi berjejal dan bernilai terkhusyuk sepanjang hidup.
Seandainya aku boleh mendampingi operasimu…. Tapi tidak boleh. Aku
menunggumu sembari berkomat-kamit sebisaku. Aku sendirian. Berusaha
tersenyum, tetapi sendirian. Tidak … tidak terlalu sendirian. Ada
seseorang mengirimiku pesan pendek dan mengatakan kepadaku, "Aku ada
di situ, menemanimu." Kalimat senada kukatakan kepadanya suatu kali,
ketika dia mengalami kondisi yang memberatkan. "Apa kepala bebalmu
tidak merasa? Aku ada di situ! Menemanimu!"
Lalu, tangis itu! Rasanya seperti ada yang mencabut nyawaku dengan cara
terindah sedunia. Tangis itu! Tentara kecil kita. Menjadi gila rasanya
ketika menunggu namaku disebut. Berlari ke lorong rumah sakit ketika
tubuh mungil itu disorongkan kepadaku. "Ini anak Bapak…"
Tahukah engkau, Sayang. Ini bayi yang baru keluar dari rahimmu, dan aku
harus menggendongnya. Bukankah dia terlau rapuh untuk tangan-tangan
berdosaku? Dokter memberiku dukungan. Dia tersenyum dengan cara yang
sangat senior. "Selamat, ya. Bayinya laki-laki."
Sendirian, berusaha tenang. Lalu kuterima bayi dalam bedongan itu. Ya,
Allah….bagaimana membahasakan sebuah perasaan yang tidak terjemahkan
oleh semua kata yang ada di dunia??? Makhluk itu terpejam tenang semacam
malaikat; tak berdosa. Sembari menahan sesak di dadaku, tak ingin
menyakitinya, lalu kudengungkan azan sebisaku. Sebisaku. Sebab, terakhir
kukumandangkan azan, belasan tahun lalu, di sebuah surau di pelosok
Gunung Kidul. Azan yang tertukar redaksinya dengan Iqomat.
Mendanau mataku. Begini rasanya menjadi bapak? Rasanya seperti tertimpa
surga. Aku tak pedul lagi seperti apa itu surga. Rasanya sudah tidak
perlu apa-apa lagi untuk bahagia. Momentum itu berumur sekitar lima
menit. Tentara kecil kita diminta oleh perawat untuk dibersihkan.
Ingatanku kembali kepadamu. Bagaimana denganmu, Sayang? Kukirimkan kabar
tentang tentara kecil kita kepada seseorang yang semalaman menemani kita
bergadang dari kejauhan. Dia seorang sahabat, guru, inspirator, pencari,
dan saudara kembarku. "He is so cute," kata SMS ku kepadanya.
Sesuatu yang membuat laki-laki di seberang lautan itu menangis dan
mengutuk dirinya untuk menyayangi bayi kita seperti dia merindukan
dirinya sendiri. Sebuah kutukan penuh cinta.
Setengah jam kemudian, berkumpul di ruangan itu. Kamar perawatan kelas
dua yang kita jadikan kapal pecah oleh barang-barang kita. Engkau, aku,
dan tentara kecil kita. Seorang lagi; keponakan yang sangat membantuku
di saat-saat sulit itu. Seorang mahasiswi yang tentu juga tidak tahu
banyak bagaimana mengurusi bayi. Tapi dia sungguh memberiku tangannya
dan ketelatenannya untuk mengurusi bayi kita.
Engkau butuh 24 jam untuk mulai berbicara normal, setelah sebelumnya
seperti mumi. Seluruh tubuhmu diam, kecuali gerakan mata dan sedikit
getaran di bibir. Aku memandangimu, merekam wajahmu, lalu berjanji pada
hati, 50 tahun lagi, engkau tidak akan tergantikan oleh siapa pun di
dunia ini.
Lima hari, Sayang. Lima hari empat malam kita menikmati bulan madu kita
sebenar-benarnya. Aku begitu banyak berimprovisasi setiap hari.
Mengurusi bayi tidak pernah ilmunya kupelajari. Namun, apa yang harus
kulakukan jika memang telah tak ada pilihan? Aku menikmati itu. Berusaha
mengurusmu dengan baik, juga menenangkan tentara kecil kita supaya
tangisnya tak meledak-ledak.
"Terima kasih, Kang," katamu setelah kubantu mengurusi kebutuhan
kamar mandimu. Lima tahun ini apa keperluanku yang tidak engkau urus,
Sayang? Mengapa hanya untuk pekerjaan kecil yang memang tak sanggup
engkau lakukan sendiri, engkau berterima kasih dengan cara paling tulus
sedunia? Lalu ke mana kata "terima kasih" yang seharusnya
kukatakan kepadamu sepanjang lima tahun ini? Tahukah engkau, kata
"terima kasih" mu itu membuat wajahmu semelekat maghnet paling
kuat di kepalaku.
Mengurusimu dan bayi kita. Lima hari itu, aku menemukan banyak gaya
menangisnya yang kuhafal di luar kepala, agar aku tahu apa pesan yang
ingin dia sampaikan. Gaya kucing kehilangan induk ketika ia buang
kotoran. Gaya derit pintu ketika dia merasa kesepian, gaya tangis bayi
klasik (seperti di film-film atau sandiwara radio) jika dia merasa tidak
nyaman, dan paling istimewa gaya mercon banting; setiap dia kelaparan.
Tidak ada tandingnya di rumah sakit bersalin yang punya seribu nyamuk
namun tidak satu pun cermin itu. Dari ujung lorong pun aku bisa tahu itu
tangisannya meski di lantai yang sama ada bayi-bayi lain menangis pada
waktu bersamaan.
Ah, indahnya. Tak pernah bosan kutatapi wajah itu lalu kucari jejak
diriku di sana. Terlalu banyak jejakku di sana. Awalnya kupikir 50:50
cukup adil. Agar engkau juga merasa mewariskan dirimu kepadanya. Tapi
memang terlalu banyak diriku pada diri bayi itu. Hidung, dagu, rahang,
jidat, tangis ngototnya, bahkan detail cuping telinga yang kupikir tidak
ada duanya di dunia. Ada bisik bangga, "Ini anakku… anak
laki-lakiku. " Tapi tenang saja, istriku, kulitnya seterang dan
sebening kulitmu. Rambutnya pun tak seikal rambutku. Kuharap, hatinya
kelak semembentang hatimu.
Kupanggil dia Sena yang berarti tentara. Penggalan dari nama
sempurnanya: Senandika Himada. Sebuah nama yang sejarahnya tidak
serta-merta. Panjang dan penuh keajaiban. Senandika bermakna berbicara
dengan diri sendiri; kontemplasi, muhasabbah, berkhalwat dengan Allah.
Sedangkan Himada memiliki makna yang sama dengan Hamida atau Muhammad:
YANG TERPUJI… dan itulah doa kita untuknya bukan, Sayang? Kita ingin
dia menjadi pribadi yang terpuji dunia akhirat. Kaya nomor sekian,
pintar pun demikian, terkenal apalagi. Yang penting adalah terpuji…
mulia…dan ini bukan akhir kita, bukan, Honey? Ini menjadi awal yang
indah. Awalku jatuh cinta (lagi) kepadamu.
(persembahan buat setiap perempuan, dan ibu yang hatinya semembentang
samudra)
Silakan membagi kisah ini kepada orang-orang terdekat Anda, karena kita semua adalah anak dari seorang ibu yang pantas dijunjung tinggi. Khususnya silakan dibagi kepada para suami agar lebih menyadari arti seorang istri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment